Kementerian
Kelautan dan Perikanan (KKP) memastikan pengendalian perdagangan ikan hiu dan
pari di Indonesia dilakukan secara ketat. Pemanfaatan hiu dan pari tersebut
diatur sehingga manfaat ekonominya optimal dan tetap lestari di alam.
Seperti
diketahui hiu dan pari merupakan komoditas perikanan yang bernilai ekonomi
tinggi yang menjadi isu global, karena fekunditas hiu rendah yang menyebabkan
populasinya terancam. Keseriusan KKP mengatur tata kelola pemanfaatan ikan hiu
menjadikan tidak ada celah bagi pelaku penyelundupan.
Direktur
Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut (KKHL) Muh. Firdaus Agung Kunto
Kurniawan mengatakan, ada tiga prinsip dasar yang digunakan KKP sebagai
instrumen pengelolaan jenis ikan hiu dan pari, khususnya yang masuk dalam
daftar Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna
and Flora (CITES) atau Konvensi Perdagangan Internasional Spesies Satwa dan
Tumbuhan Liar Terancam Punah. Ketiganya adalah legalitas, keberlanjutan dan
ketertelusuran.
"Penerapan
ketiga prinsip dasar tata kelola tersebut terus dimonitor dan dievaluasi untuk
dilakukan langkah-langkah perbaikan sehingga adanya keseimbangan antara
kepentingan ekonomi dan keberlanjutan sumber daya di habitat alaminya,"
kata Firdaus dalam keterangan tertulis, Selasa, 13 Desember 2022.
Pertama,
prinsip legalitas diterapkan melalui instrumen perizinan khusus berupa Surat
Izin Pemanfaatan Jenis Ikan (SIPJI), dimana setiap orang yang akan melakukan
kegiatan pemanfaatan komersial hiu dan pari appendiks CITES wajib terlebih
dahulu memiliki SIPJI.
Kedua,
prinsip keberlanjutan diterapkan melalui pembatasan penangkapan dan ekspor
melalui kuota. Kuota penangkapan ditetapkan setiap tahun oleh KKP berdasarkan
rekomendasi ilmiah dari Otoritas Keilmuan (LIPI/BRIN). Penetapan kuota ini
dimaksudkan untuk memastikan bahwa tingkat pemanfaatan yang dilakukan tidak melebihi
daya dukung sumber daya.
Sedangkan
ketiga prinsip ketertelusuran diimplementasikan melalui kewajiban pelaporan
oleh pemanfaat dan kewajiban dokumen angkut sebagai persyaratan dalam melakukan
pengangkutan hiu dan pari appendiks CITES di dalam negeri maupun ke luar
negeri.
Lebih
lanjut Firdaus mengungkapkan, perairan Indonesia memiliki keragaman hiu dan
pari yang cukup tinggi. Berdasarkan beberapa literatur dan hasil penelitian,
kata dia, di perairan Indonesia terdapat 117 spesies hiu dan 101 spesies pari.
"Hiu
dan pari yang tidak boleh diperdagangkan adalah jenis hiu dan pari yang
dilindungi secara penuh berdasarkan regulasi nasional. Terdiri atas satu
spesies hiu yaitu Hiu Paus (Rhincodon typus) dan sepuluh spesies pari,"
katanya.
Kesepuluh
pari tersebut yaitu Pari manta oseanik (Manta birostris), Pari manta karang
(Manta alfredi), Pari sungai tutul (Fluvitrygon oxyrhynchus), Pari sungai
raksasa (Urogymnus popylepis), Pari sungai pinggir putih (Fluvitrygon
signifer), Pari gergaji lancip (Anoxypristis cuspidata), Pari gergaji kerdil
(Pristis clavata), Pari gergaji besar (Pristis pristis sinonim Pristis
microdon), Pari gergaji hijau (Pristis zijsron), dan Pari kai (Urolophus
kainus).
"Hiu
dan pari yang tidak dilindungi secara regulasi masih diperbolehkan untuk
dimanfaatkan dengan tetap memperhatikan ketiga prinsip tata kelola yaitu
legalitas, keberlanjutan dan ketertelusuran," ujarnya.
Firdaus
membeberkan, nilai perdagangan hiu dan pari diperkirakan cukup signifikan
mengingat harga jual sirip hiu di tingkat nelayan saja sekitar Rp700 ribu per
kilogram kering. Dari sisi PNBP, nilai penerimaan PNBP dari perdagangan luar
negeri hiu sampai dengan November 2022 sekitar Rp600 juta.
"Harapannya
ke depan agar pemanfaatan hiu pari semakin terkelola dengan baik, nilai manfaat
ekonomi dari kegiatan perdagangan tetap selaras dan sesuai dengan prinsip
kelestarian populasinya di alam," ujarnya.
Kepala
Loka Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut (LPSPL) Serang KKP Syarif Iwan
Taruna Alkadrie menjelaskan, tidak semua jenis hiu yang ada di Indonesia
dilarang untuk ditangkap dan diperdagangkan. Dia menegaskan, pemerintah melalui
KKP mengatur ketat pemanfaatan ikan hiu dan pari yang masuk apendiks II CITES
untuk penetapan kuota ambil dan kuota ekspor di Indonesia.
"Ikan
hiu ini diatur secara khusus, dia harus punya izin yang ketat yaitu Surat Izin
Pemanfaatan Jenis Ikan. Untuk lalu
lintasnya saja harus ada surat angkut, tidak seperti ikan lainnya. Kita
mengaturnya sehingga manfaat ekonominya dapat dan keseimbangan alamnya tetap
terjaga mengingat hiu adalah top predator," kata Iwan.
Dia
memastikan, aturan manfaatkan ikan hiu itu sangat terukur sekali dari mulai
izin perdagangan dalam negeri dan luar negeri, kuota ambil dan kuota ekspor,
izin kuota sampai dengan mengontrol terus ekosistem ikan dengan enumerasi di
pendaratan ikan. Tidak hanya itu, yang mengawal aturan pemanfaatan hiu tidak
hanya KKP tetapi juga Kementerian Perdagangan, Karantina ikan dan Bea Cukai.
Untuk
jenis Hiu dan Pari yang tidak masuk Appendik 2 CITES atau dikategorikan Look
Alike Species yaitu jenis-jenis ikan hiu dan pari yang mempunyai kemiripan
dengan jenis yang dilindungi dan/atau termasuk dalam Appendiks CITES. Dalam
pemanfaatan jenis Look Alike Species tidak diperlukan surat izin SIPJI dan
dokumen yang dibutuhkan untuk melalulintaskan jenis Look Alike Species cukup
dengan dokumen Rekomendasi.
"Yang
mengamankan aturan ini tidak hanya KKP sendiri. Jadi aturan ini tegak diawasi
berbagai pihak, memang pengawasan yang sangat ketat," ujar Iwan.
Untuk
mengaturnya, KKP telah menerbitkan sejumlah aturan, diantaranya Peraturan
Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 61 Tahun 2019 jo Permen KP
Nomor 44 Tahun 2019 tentang Pemanfaatan Jenis Ikan Yang Dilindungi dan/atau yang
Masuk Dalam Appendiks CITES.
Permen
KP Nomor 10 Tahun 2021 tentang Standar Kegiatan Usaha dan Produk pada
Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko Sektor Kelautan dan
Perikanan dan Kepmen KP Nomor 54 tentang Nama Layanan Publik dan Produk Layanan
Publik di Lingkungan Kementerian Kelautan dan Perikanan
Dia
menambahkan, tidak hanya aturan yang ketat, petugasnya di lapangan sudah
dibekali dengan kemampuan identifikasi jenis ikan hiu dan pari.
Mereka
mengikuti pelatihan terstandar agar memiliki kemampuan yang handal dalam
melakukan identifikasi jenis produk hiu dan pari sebelum dilalulintaskan,
sehingga produk hiu dan pari yang diperdagangkan telah sesuai dengan dokumen
dan persyaratannya.
"Pengetahuan
identifikasi tersebut penting untuk memastikan hiu dan pari yang diperdagangkan
bukan jenis yang dilindungi dan sudah sesuai dengan mekanisme perdagangan yang
diatur dalam CITES," tutup Iwan Taruna.
0 Komentar