Kotoran
itik menjadi hasil sampingan atau limbah dari usaha peternakan itik. Kotoran
yang tidak dikelola dengan baik merupakan sumber permasalahan yang harus
ditangani dengan cara yang tepat. Pasalnya, kotoran tersebut mengeluarkan bau
yang dapat mengganggu masyarakat di sekitar lokasi peternakan. Sebenarnya,
kotoran itik sama seperti kotoran ternak lainnya yang dapat diolah menjadi
pupuk organik.
Peneliti
Balai Penelitian Lingkungan Pertanian (Balitbangtan), Poniman, S.P., M.Ling.,
menjelaskan, masalah bau yang disebabkan kotoran dapat mengganggu estetika
hingga produktivitas ternak. Bau tersebut disebabkan oleh senyawa kimia amonia
dan hidrogen sulfida.
Kotoran
padat yang menjadi sumber bau bisa diolah menjadi pupuk organik dengan bantuan
magot atau larva lalat BSF. Magot bisa didapatkan dari peternakan magot atau
diternakkan sendiri. Mengingat, saat ini mulai banyak peternak magot yang
merupakan pakan alami kaya protein untuk ikan.
Untuk
mengubahnya menjadi pupuk organik, tiap 1 ton kotoran itik memerlukan 10 kg
magot. Larva lalat BSF tersebut kemudian disebar secara merata pada kotoran
itik yang sudah dikumpulkan pada tempat yang aman dan tidak terjangkau oleh
itik. Selanjutnya, kotoran dibalik secara rutin agar proses makan magot
berjalan sempurna.
Setelah
7–10 hari, kotoran yang semula diberi magot kita panen menggunakan ayakan agar
yang didapat adalah kotoran yang sudah dimakan dan bertekstur halus. Ini
menjadi pupuk organik yang siap untuk digunakan.
Magot
yang bertugas mengolah kotoran itik bisa dijadikan sebagai pakan ternak itik.
Magot tersebut dapat diberikan secara langsung menjadi campuran pakan atau
dikeringkan terlebih dahulu menjadi tepung untuk kemudian dicampur dengan
bahan-bahan lain.
Berdasarkan
hasil penelitian, perlakuan magot pada kotoran itik menghasilkan amonia sebesar
0,9 mg/gram. Kadar tersebut masih dalam ketentuan baku mutu. Dengan begitu,
penggunaan magot untuk mengubah kotoran menjadi pupuk organik dianggap sebagai
cara yang ramah lingkungan.
0 Komentar